Text
Bumi dan Lukanya : Remake
“Apakah kamu tau alasan mengapa Tuhan memberi semua rasa sakit ini kepada kamu? Karena untuk memperoleh kebahagiaan, diperlukan luka, Bumi. Tuhan tahu bahwa kamu hebat, maka itu Dia memberi segala rasa sakit ini ke kamu. Ini semua supaya kamu memahami bagaimana caranya bertahan dan bagaimana cara untuk bangkit. Jadi, Bumi, tolong tetap bertahan, ya?” – Senjani
Bagi seorang anak laki-laki bernama Bumi Putra Langit, diabaikan dan dianggap tak ada oleh orang di sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri, sudah seperti makanan sehari-hari. Sejak ia kecil, Bumi bahkan tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya dipeluk oleh seorang ibu dan ayah. Memang sangat aneh, Bumi juga tak pernah mengerti apa alasan dirinya selalu dianggap asing dan diabaikan. Bumi kerap kali hanya bisa menangis diam-diam di sudut kamar tidurnya.
Sejujurnya, Bumi selalu merasa iri kepada kakak laki-lakinya. Sebab, ia selalu diprioritaskan dan dipeluk oleh kedua orang tuanya. Perlakuan ibu dan ayahnya kepada sang kakak dan kepada Bumi, berbeda seratus delapan puluh derajat. Bumi selalu membatin, apakah dia bisa menjadi seperti kakaknya? Bumi hanya bisa tersenyum miris jika mengingat bagaimana posisinya di keluarga itu bagaikan pelengkap yang tak berarti.
Menyalahkan takdir? Bumi sudah sering melakukan itu. Namun, tetap saja, sekeras apapun Bumi menangis dan meminta pertolongan kepada semesta, pada akhirnya Bumi akan tetap menjadi seseorang yang terbuang. Pada umumnya, setiap pagi, keluarga pasti akan berkumpul bersama di ruang makan untuk sekadar sarapan bersama sebelum melakukan aktivitasnya masing-masing. Hal ini juga dilakukan oleh keluarga Bumi, keluarga Johnny.
Canda tawa keluarga memenuhi ruangan makan. Ocehan-ocehan yang diucapkan juga terdengar begitu menyenangkan. Bumi melangkahkan kakinya, berjalan keluar dari kamarnya untuk menuju ruang makan keluarga. Di sana sudah ada papa, mama, dan kakaknya yang sedang duduk dan mengobrol. Ya, bahkan Bumi saja tak pernah disuruh bergabung untuk sarapan bersama.
Setiap hari, Bumi akan selalu pergi sendiri tanpa ada yang mengingatkan. Bumi menghampiri mereka, kemudian ikut bergabung bersama keluarga itu. Namun, sekali lagi, bahkan kedatangan Bumi saja tidak disadari, atau tidak dipedulikan. Mama, papa, dan Azri, kakak Bumi masih melanjutkan percakapan mereka.
Di sisi lain, ada seorang anak lelaki yang dari tadi hanya diam, tidak ikut bergabung dalam percakapan keluarga itu. Sejujurnya, Bumi sangat ingin ikut mengobrol dan tertawa bersama dengan anggota keluarganya yang lain. Namun, keinginan itu hanya dapat ia pendam sendiri, karena ia mengetahui, kalau kehadirannya bagaikan angin lalu saja bagi mereka.
Di saat Bumi mencoba untuk mengatakan sesuatu kepada mamanya, sang mama malah menjawabnya dengan ketus. Sesak, itu yang dirasakan Bumi ketika mendengar perkataan dari mamanya. Bumi menghela napasnya, berusaha sekuat tenaga untuk menahan air mata yang hampir keluar di pelupuk matanya. Bumi kemudian menunduk dan melangkah pergi dari ruang makan itu.
Sang papa kemudian menawarkan untuk mengantar ke sekolah dan mengajak segera berangkat. Bumi sedikit terkejut mendengar perkataan papanya itu. Namun, saat ia menoleh, ia baru mengetahui bahwa ajakan itu ditujukan untuk kakaknya. Bumi hanya tersenyum dan bertanya-tanya, mengapa dirinya bisa sangat asing di keluarganya sendiri?
Bumi sendiri juga tak mengerti, kenapa mereka bisa membenci Bumi hingga segitunya? Apakah karena Bumi berbeda dengan Azri? Ah, terlalu sulit untuk menerka-nerka alasan mengapa dirinya diperlakukan seperti itu. Lagi-lagi, Bumi hanya bisa tersenyum ketika menyaksikan bagaimana ia diperlakukan, diabaikan, dan dianggap tak ada oleh orang-orang yang seharusnya menyayangi dan memeluknya.
Dengan langkah yang lemas, Bumi langsung beranjak keluar rumah untuk segera pergi ke sekolah. Selama perjalanan, anak lelaki itu hanya bisa merasa sesak, karena menahan segala perasaannya. Bumi sangat ingin menangis, tetapi tidak bisa. Bumi kemudian menepuk-nepuk dada sebelah kirinya untuk meredakan rasa sakit yang selalu ia rasakan.
Pada mulanya, Bumi sama sekali tidak menyangka bahwa mereka akan sama-sama melangkah ke tahap ini. Bumi merasa memiliki terlalu banyak luka untuk memeluk Anjani. Bumi tidak pernah mengetahui apa itu rumah, dan khawatir dirinya tidak akan bisa memberikan “rumah” yang layak untuk Anjani nanti. Anjani adalah sosok yang selalu meyakinkan Bumi bahwa tidak perlu takut akan kematian, seperti yang diucapkan oleh dokter.
Anjani bagaikan obat untuk Bumi. Obat yang tidak akan pernah membuat Bumi bosan untuk meminumnya, tak peduli seberapapun pahitnya obat itu. Bumi hanya ingin Anjani berjanji untuk jangan pernah meninggalkannya. Janji untuk membantu Bumi sembuh. Bumi memang tidak dapat menawarkan banyak hal untuk Anjani, tetapi dia berjanji akan selalu membuat Anjani bahagia hingga akhir hidupnya nanti.
“Bumi, sampai kapan pun kamu akan selalu hidup di dalam hidupku.” – Senjani
Tidak tersedia versi lain