Text
Berteman Dengan Kematian : Catatan Gadis Lupus
Novel Berteman dengan Kematian karya Sinta Ridwan mengkisahkan tentang kehidupan si penulis. Dimana, ia divonis mati karena sakitnya. Sehingga ia harus tetap berjuang menikmati sisa waktu hidupnya.
Sinta Ridwan lahir di keluarga yang tidak utuh atau broken home. Dia ada sosok perempuan yang pekerja keras, pintar, kreatif, dan unik.
Dia adalah mahasiswa di kampus Padjadjaran Bandung dengan jurusan sastra. Sesuai minatnya, Sinta memang seorang penggila sastra yang sangat unik.
Kemudian, Sinta melanjutkan S2 di Padjajaran Bandung dengan jurusan Filologi. Keren, kan? terlebih dia juga membiayai kuliahnya sendiri loh.
Memang tidak ada yang sempurna dalam kehidupan. Hal tersebut pun juga dirasakan oleh Sinta. Ia mengidap penyakit yang tergolong langka dan mematikan yaitu sakit autoimun ataupun lupus.
Dia tak pernah menduga saat divonis sakit lupus oleh dokter. Penyakit ini benar-benar membuat tubuh Sinta menjadi melemah setiap hari.
Sinta berjuang untuk membuat hari-harinya lebih bermakna menjelang kematian.
Ketika, dia mengetahui sakit lupus, hal yang selalu terbayangkan olehnya adalah kematian.
Kini, kematian bukanlah hal yang menakutkan baginya. Tetapi, kematian adalah teman akranmya yang membuat waktu di setiap harinya menjadi begitu berharga dan bermakna.
Sinta selalu memberikan semangat dan senyuman kepada semua orang yang ada di sekitarnya. Terutama, kepada orang yang mengalami sakit lupus, seperti dirinya. Karena memang pada akhirnya, setiap orang akan mengakhiri hidupnya.
Di usianya yang ke-25 tahun, akhirnya ia dapat membuat sebuah karya dan selalu membagikan senyuman yang indah kepada orang-orang di sekitarnya.
Meskipun, dia sudah divonis akan kematiannya. Tetapi, Sinta tetap semangat menulis banyak karya seperti mengkaji naskah kuno, menulis puisi dan novel.
Suatu waktu, ketika mengikuti perjalanan dari Bali ke Bandung, ia bergelut dengan sakitnya. Teman-temannya begitu iba melihatnya, tetapi ada pula yang menertawakannya. Sinta begitu kuat menahan sakitnya hingga ia terlelap di dalam bus.
Meskipun sakit Lupus, Sinta tidak mengikuti anjuran dokter untuk selalu mengkonsumsi obat kimiawi. Hingga saat ia mengikuti seminar tentang sakit Lupus. Ia hanya meyakinkan dirinya tetap bisa hidup bahagia tanpa konsumsi obat.
Di selembar terakhir bukunya, ia menuliskan pernyataan bahwa, “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.
Semangat hidup tokoh Sinta dalam buku ini benar-benar begitu terasa. Sudah diceritakan dalam novel, Sinta adalah gadis remaja yang sudah mengalami banyak masalah pahit dalam kehdiupannya.
Dia tidak hanya mengalami penderitaan psikologis karena keluarganya. Ia pun harus mencari uang sendiri untuk kuliah. Hingga ia harus menerima sakit lupus pada fisiknya.
Ketika ia bertemu dengan orang yang sakit lupus, Sinta tak ingin berlarut dalam kesedihan. Ia justru hanya ingin meyakinkan bahwa selama masih diberikan kehidupan Sinta harus tetap hidup dengan bahagia.
Kematian bukanlah hal yang harus ditakutkan, ia begitu dekat. Hingga ia menjadikan kematian sebagai temannya. Yang ia takutkan hanyalah ia mati dalam keadaan sendirian.
Tidak tersedia versi lain